Selasa, 19 November 2013

Makalah ZAMAN MESOLITIKUM



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Zaman prasejarah adalah zaman dimana manusia belum mengenal tulisan. Zaman ini dimulai sejak adanya kehidupan manusia di bumi. Sehingga pada zaman prasejarah ini sama sekali tidak ditemukan bukti-bukti tulisan pada benda-benda peninggalannya. Masa ini berakhir ketika manusia mengenal tulisan. Di Indonesia sendiri masa prasejarah ini berakhir pada sekitar tahun 1879 dengan ditemukannya Prasasti Yupa di Kalimantan Timur.
Zaman mesolitikum atau zaman batu tengah/madya terjadi sekitar 10.000 tahun S.M., setelah masa paleolitikum berakhir. Pada zaman ini manusia purba mulai hidup berburu dan mengumpulkan makanan (food ghatering) yang terdapat di alam dengan alat dan teknologi yang lebih baik dari zaman paleolitik. Di Indonesia sendiri mulai timbul usaha-usaha untuk bertempat tinggal di gua-gua alam walaupun belum sepenuhnya menetap, karena hidupnya masih sangat bergantung pada alam. Tidak menutup kemungkinan jika manusia pada zaman ini sudah bercocok tanam secara sederhana. Pada zaman ini juga mulai tampak kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang belum pernah dicapai pada masa-masa sebelumnya. Zaman mesolitikum merupakan zaman dimana berburu menjadi tidak begitu dominan lagi, sedangkan mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan hasil laut menjadi semakin penting. Perkembangan-perkembangan ini menandai berakhirnya zaman paleolitikum dan mulainya zaman mesolitikum,
atau zaman batu madya.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana keadaan lingkungan pada zaman mesolitikum?
2.    Bagaimana corak kehidupan manusia pada zaman mesolitikum?
3.    Bagaimana keadaan tempat tinggal manusia pada zaman mesolitikum?


4.    Bagaimana perkembangan pembuatan artefak oleh manusia purba pada zaman mesolitikum?
5.    Bagaimana perkembangan manusia purba zaman mesolitik dan ras
manusia purba apa saja yang mendiami Indonesia?
C.  Tujuan
1.    Mendiskripsikan keadaan lingkungan pada zaman mesolitikum.
2.    Mengetahui corak kehidupan manusia pada zaman mesolitikum.
3.    Menganalisis tempat tinggal manusia purba pada zaman mesolitikum.
4.    Mengetahui perkembangan pembuatan artefak oleh manusia purba pada zaman mesolitikum.
5.    Menganalisis perkembangan manusia purba zaman mesolitik dan mengetahui ras manusia purba yang mendiami Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  KeadaanLingkungan
Perubahan penting yang terjadi pada awal zaman mesolitikum (menjelang 10.000 SM)adalah berubahnya iklim yang mendatangkan perubahan-perubahan pada habitat manusia. Perubahan dari musim dingin kemusim panas menyebabkan naiknya permukaan air laut yang kemudian menenggelamkan beberapa daratan rendah ,termasuk Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Fenomena ini menyebabkan terputusnya hubungan antara Kepulauan Indonesia dengan Daratan Asia Tenggara.
Perubahan iklim ini juga menghilangkan  bahkan memunahkan kawanan binatang yang menjadi sumber makanan pada zaman sebelumnya. Dengan demikian, manusia terpaksa harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. D. G. Bates (1990:78) menyebutkan “Variation, wheter biological or behavioral, is the key to the process of adaptation ….  The recognition of variability draws attention to the process of selection among choices-the process of decision making. It encourages researchers to try to predict how individuals would behave under specific circumstances”.Keadaan tersebut menjadikan perburuan secara kooperatif dan besar-besaran tidak lagi produktif (W. A. Haviland, 1988:263). Di sisilain, sumber makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan menjadi lebih berlimpah dari pada sebelumnya.[R1 ] Munculnya perairan baru juga setalitigauang menghasilkan ikan dan makanan lain di tepidanau, teluk, dan sungai. Para manusia purba di masa ini pun merespon fenomena ini dengan mengembangkan cara-cara baru dan cerdik untuk menangkap dan membunuh binatang. Mereka juga mulai mengumpulkan makanan berupa tumbuh-tumbuhan liar.




B.  Corak Hidup
Cara hidup manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut masih dipengaruhi cara hidup pada masa sebelumnya. Faktor-faktor alam masih sangat berpengaruh dalam menentukan cara hidup mereka sehari-hari. Mereka hidup dengan berburu binatang di dalam hutan dan mengumpulkan makanan di lingkungan sekitarnya.
Pada teknologi alat-alat kebutuhan hidup tampak kelanjutan tradisi alat batu dan tulang. Pembuatan alat batu ini menghasilkan kapak genggam Sumatra dan kapak pendek. Alat serpih-bilah dan tulang menjadi alat bantu penghidupan yang makin meningkatkan teknologi pembuatannya. Jenis-jenis alat terakhir ini menunjukan teknik pembuatannya yang semakin rumit dan halus. Teknologi ini terutama ditemukan pada konteks alat toala di Sulawsi Selatan. Ditempat ini banyak dihasilkan mikrolit, mata panah bersayap atau bergerigi, serpih-bilah bergerigi, lancipan tebal satu sisi, dan lancipan munduk. Alat-alat tersebut menunjukan adanya perburuan terhadap hewan-hewan kecil.
Pada masa ini dimungkinkan sekali pembuatan alat-alat dari bahan bambu. Diduga bahwa bambu memegang peran penting dalam masa ini. Karena bambu dapat dijadikan alat-atat untuk berburu. Selain itu bambu juga dimungkinkan untuk membersihkan umbi-umbian dari sisa-sisa tanah yang masih menempel.
Pada masa ini manusia mulai menemukan api. Api digunakan untuk menghangatkan tubuh dan membakar hewn buruan. Penemuan api dan perkembangan ilmu pertanian merupakan proses pembaruan yang membentuk dasar kebudayaan. Penggunaan api oleh manusia tidak hanya menandai awal kehidupan sosial namun juga menghasilkan teknologi baru yang saling berhubungan.
Dalam bidang pertanian menusia zaman ini melakukan penanggalan karbon. Penanggalan ini ditemukan dallam beberapa situs gua di Indonesia. Hasil penaggalan karbon [R2] menunjukan munculnya domestikan tanaman berupa padi  yang dibuktikan di situs Gua Ulu Leang 1 Maros (Sulawesi Selatan) . buktinya berupa bulir-bulir padi dan skam yang berorientasi pada  sekitar tehun 2160-1700SM.Kehadiran alat-alat batu,tulang dan gerabah memberikan bukti yang mendukung bahwa alat-alat tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan kegiatan pertanian awal dan sebelumnya.
Bercocok tanam [R3] dilakukan dengan cara yang sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut keadaan kesuburan tanah. Di sini mereka menanam umbi-umbian karena belum mengenel cara-cara penanaman biji-bijian. Setelah musim panen selesai lahan pertanian yang mereka buat akan ditinggalkan. Kemudian mereka berpindah ketempat tinggal yang baru. Pada suatu saat mereka akan kembali lagi ketempat yang pernah ditinggalkannya.
Bahan makanan lain juga di kumpulkan dari daerah sekitar mereka tinggal. Mereka makan kerang, siput dan ikan. Ini dibuktikan dengan adanyapenemuan kulit kerang,siput, dan duri ikan dalam gua.
Kegiatan pertanian umumnya selalu dikaitkan dengan usaha-usaha penjinakan hewan. Data ekskavasi menunjuksn bahwa usaha penjinakan hewan telah dilakukan. Di Gua Cakondo ditemukan gigi anjing. Ini merupakan salah satu
bukti tentang upaya penjinakan hewan.
C.  Tempat Tinggal
Adanya alat-alat yang lebih canggih memudahkan mereka untuk memanfaatkan tumbuh-tumbuhan danhasil laut sebagai sumber kehidupan. Oleh sebab itulah kebiasaan berburu sudah tidak menjadi sama pentingnya seperti pada zaman sebelumnya. Mereka mulai tinggal menetap di daerah yang dekat dengan lokasi pantai maupun vegetasi yang ketersediaan makananannya relatif konstan. Selanjutnya mereka mulai menjinakkan hewan dan bercocok tanam secara sederhana.William A. Haviland (1988:264) menyebutkan bahwasanya zaman mesolitikum merupakan zaman yang lebih sedenter (menetap) bagi manusia dibandingkan zaman sebelumnya. Tempat tinggal mereka pada masa ini lebih kuat yang menandakan bahwasanya tempat tinggal mereka lebih permanen. Namun, pada masa ini manusia masih belum menetap sepenuhnya. Sebab suatu saat tempat tinggal itu akan ditinggalkan jika sekiranya tempat itu tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka (Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2010:141). Pada umumnya manusia zaman mesolitikum menempati gua-gua dan tepi pantai sebagai tempat tinggal mereka.

1.    Abris sour roche
Gua yang dijadikan tempat tinggal pada zaman mesolitikum ini dinamakan abris sour roche. Gua-gua ini dipilih dengan mempertimbangkan letak jauh dekatnya dari sumber air, dapat melindungi diri dari hewan-hewan buas serta ketersediaan makanan.
Penyelidikan pertama abris sour roche dilakukan oleh van Stein Callenfels di Gua Lawa Sampung (Ponorogo, Madiun)dari tahun 1928-1931. Alat-alat yang ditemukan di situs ini antara lain: ujung panah, flakes, dan batu penggilingan. Bagian terbesar dari alat yang ditemukan itu merupakan alat dari tulang, sehingga muncul istilah Sampung bone-culture”(R. Soekmono, 1973:41).
Selama bertempat tinggal di dalam gua mereka membuat alat–alat yang mampu membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari. Alat alat yang mereka buat antara lain kapak genggam, pisau dari tanduk, sundip tulang dan penggaruk dari kerang(digunakan untuk membersihkan umbi-umbian).
Di daerah Bojonegoro ada beberapa abris sour roche terutama dari kerang dan tulang. Di pulau Timor dan Roti ditemukan juga alatberupa ujung panah, di sana juga ditemukan flake-culture. Ujung panah itu kebanyakan dibuat dari batu indah seperti jaspis dan chalcedon. Semua alat yang menggunakan ujung panah ini bertangkai pada pangkalnya.
Flakes juga ditemukan di Bandung.Semua flakes di daerah ini terbuat dari batu kecil yang dikenalsebagaimicrolith. Microlith yang dimaksudadalah batu-batu kecil yang berbentuk geometris.Flakes Bandung dan Kerinci merupakan inti dari flake-culture.
Selain membuat alat kebutuhan sehari-hari mereka juga melukiskan sesuatu di dinding gua. Lukisan ini di buat dengan cara menggores pada dinding-dindingnya atau juga menggunakan cat yang berwarna merah, hitam, atau putih. Lukisannya berupa cap tangan dengan cara merentangkan jari-jari tangan di permukaan atau di dinding-dinding gua atau dapat pula berupa gambaran suatu pengalaman, perjuanagan dan harapan hidup. Sumber inspirasi lukisan ini adalah kehidupan sehari-hari mereka.
Dengan demikaian lukisan-lukisan di gua itu menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kala itu. Lukisan ini menggambarkan jika pada masa itu manusia purba sudah hidup secara berkelompok. Banyak sedikitnya kelompok dapat diketahui dari besarnya gua.

2.    Kjokkenmoddinger
Selaintinggal di gua-gua, manusia purba zaman mesolitikum juga tinggal di tepi pantai. Hal ini dibuktikan dengan adanya kjokkenmoddinger yang menjadi corak kebudayaan yang istimewa dari zaman mesolitikum. Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken yang berarti dapur dan modding yang berarti sampah, sehingga kjokkenmoddinger dapat diartiakan sebagaisampah dapur.
Manusia yang tinggal di tepi pantai ini mengandalkan hasil laut sebagai sumber kehidupan, terutama kerang dan siput. Soekmono (1973:39) menyebutkan “kulit-kulit siput dan kerang yang dibuang itu selama waktu yang bertahun-tahun…akhirnya menjelmakan bukit kerang yang beberapa meter tinggi dan lebarnya itu. Bukit-bukitinilah yang dinakaman kjokkenmoddinger”.Dari hasil pengamatan kebudayaan kkjokenmodinger itu dapat disimpulkan bahwasanya“kehidupan manusia waktu itu pada taraf berburu dan mengumpulkan makanan perairan laut atau food gatheringDengan demikian zaman mesolitikum lebih maju dibanding dengan zaman paleolitikum(Anwar Sari, 1995:51).
Kjokkenmoddinger banyak ditemukan di sepanjang pantai Sumatra Utara  antara Langsa di anatara Medan dan Aceh. Bukti itu menunjukan adanya manusia yang tinggal dalam rumah-rumah bertonggak di sepanjang pantai.
Dalam bukit-bukit kerang ini ditemukan kapak genggam yang berbeda dari chopper pada zaman paleolitikum. Kapak genggam zaman mesolitikum antara lain disebut pebble dan kapak Sumatra. Kapak ini dibuat dari batu kali yang dipecah. Sisi luarnya tidak diapa-apakan sedangakan sisi dalamnya dikerjakan lebih halus, sesuai dengan keperluannya.
Di zaman ini juga ditemukan kapak pendek (hache courte). Kapak pendek berbentuk setengah lingkaran. Cara pembuatannya seperti pembuatan kapak genggam yaitu dengan memecah, memukul batu namun tidak diasah. Sisi tajamnya berada pada sisi yang lengkung. Selain itu ditemukan pula benda yang disebut pipisan (batu penggiling beserta landasannya). Pipisan tidak hanya digunakan untuk menggiling makanan, namun juga untuk menghaluskan bahan pembuat cat mereh. Cat merah ini mungkin digunakan untuk melukis manusia purba di dinding gua tempat ia
tinggal atau mungkin sebagai sarana spritual.
D.  Artefak
Budaya diartikan sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari(Rogger M. Keesing,1989:68).Begitu pula munculnya beragamperalatan, yang digunakan untuk memudahkan manusia dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, merupakan bagian dari himpunan pengalaman manusia yang dipelajari dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Pada zaman ini manusia memiliki ketergantungan yang lebih besar terhadap  inteligensi dan buka pada besarnya tubuh. Bersamaan dengan pemikiran yang semakin modern, maka berkembanglah pemikiran yang konseptual. Hal ini dibuktikan dengan adanya artefak-artefak yang semakin canggih, bervariasi, dan bersifat khusus dari zaman sebelumnya. Meighan (1966:-) menyebutkanhe showed sophistication in that he produced compound tools,to utilize one material for one setof physicalqualities and another material for a different set of properties.Alat-alat menjadi semakin ringan dan kecil, yang menghemat bahan baku. Artefak-artefak tersebut dikhususkan sesuai dengan daerah dan fungsinya. Alat-alat yang kasar tidak lagi dibuat. Sebagai gantinya, dibuatlah alat-alat yang efektif untuk mendayagunakan kondisi padang rumput, hutan dan pantai dengan lebih baik.
Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari tempat tinggal manusia zaman mesolitikum, maka tradisi pokok pembuatan alat-alat di Indonesia pada zaman mesolitikum dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar, yakni: kebudayaan pebble (pebble culture) yang banyakditemukan di kjokkenmoddinger; dan kebudayaan tulang (bone culture) serta kebudayaan serpih bilah (flake culture)­ yang banyak ditemukan di abris sous roche.
1.    Serpih-bilah
Pembuatan serpih bilah pada zaman mesolitikum lebih maju dari zaman paleolitikum penggunaannya juga lebih kompleks. Salah satu alat khas zaman ini adalah alat mikrolit yang berbentuk geometris. Batu yang dipakai untuk membuat alat ini antara lain: kalsedon, andesit, dan batu gamping. Tradisi serpih bilah terutama berlangsung dalam kehidupan digua Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.
“Heekeren melakukan ekskafasi di Leang Karassa disebelah timur Maros Desa Patanulang AsuE. Disini ditemukan alat-alah bilah, penggaruk, pisau, alat tusuk, dan alat-alat batu bergerigi. Disini tidak ditemukan mata panah bersayap tetapi sejumlah alat batu yang berkerah berbentuk sederhana. Temuan ini digolongkan sebagai salah satu kelompok tradisi serpih bilah tertua dari rumpun toala(Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2010:156).
2.    Alat Tulang
Temuan alat tulang yang paling terkenal di Jawa adalah Goa Lawa, dekat Sampung. Di lapisan bawah gua ini banyak ditemukan alat-alat dari tulang. Alat-alat tersebut antara lain lancipan, belatik dari tanduk, sundip tulang, dan beberapa mata kail. Disini juga ditemukan batu pipisan yang halus pada bagian permukaanya dimungkinkan karena akibat pemakaian yang terus menerus. Brian M. F. (1994:291)menyebutkan inovasi-inovasi dalam pembuatan alat dari tulang tersebut menjadikan para pemburu mulai lebih banyak berburu hewan-hewan yang lebih buasataubahkan yang susah ditangkap.  Kerangka manusia juga ditemukan namun keadaannya tidak lengkap karena dikubur secara in situ secara terlipat dengan dagu menempel pada lutut.
3.    Kapak Genggam Sumatra
Kebudayaan ini berasal dari Hoabinh lalu menyebar dari Asia Tenggara menuju Indonesia. Kebudayaan masyarakat Hoabinh ditemukan dalam gua-gua di sekitar pegunungan Leuser. Kebudayaan ini menghasilkan produk artefak litik krakal. Alat ini dikenal sebagai Sumatralith atau batu Sumatra. Sejumlah alat batu yang di Indonesia dikenal dengan istilah Sumatralith adalah kapak genggam Sumatra. Di Indonesia kapak Sumatra ditemukan tersebar dari timur Sumatra utara ke
Aceh.
E.  Ras Pokok
Teknologi pembuatan alat yang semakin canggih menyebabkan penduduk dunia dapat berpindah kelingkungan-lingkungan yang lebih beranekaragam. Hal ini menjadikan fisik manusia menjadi kurang kuat, dan sebaliknya mendorong pertumbuhan kearah muka dan gigi yang lebih kecil, berkembangnya otak yang lebih besar dan kompleks (William A. Haviland, 1988:264).
Sejak sekitar 10.000 tahun yang lalu ras manusia seperti yang kita kenal sudah mulai ada di Indonesia dan sekitarnya. Terutama ada dua ras yang terdapat di Indonesia pada zaman mesolitikum ini.
Pertama adalah ras Australomelanesid. Ras ini memiliki tinggi badan yang bervariasi nan cenderung besar. Tengkorak relatif kecil, dengan dahi agak miring. Bagian pelipisnya tidak membulat benar. Tengkoraknya lonjong atau sedang dan bagian kepala tengkoraknya menonjol seakan-akan sanggul. Dinding samping tengkorak hampir tegak lurus. Lebar mukanya sedang dengan rahang masuk kedalam. Alat pengunyah berupa gigi besar dan kuat.
Ras kedua adalah ras Mongolid. Ras ini variasi tinggibadannya tidak selebar dan setinggi ras Australomelanesid. Tengkoraknya bundar atau sedang dengan isi tengkorak rata-rata lebih besar. Dahinya lebih membulat dan rongga matanya biasanya memanjang dan berbentuk persegi. Mukanya lebar dan datar (arah mukanya dalam ke belakang) dengan hidung sedang atau lebar.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berakhirnya zaman es menimbulkan perubahan fisik yang drastis untuk habitat manusia. Permukaan air laut naik, vegetasi berubah, dan kawanan binatang menghilang dari banyak daerah. pada zaman ini mausia lebih banyak bergantung pada hasil laut dan vegetasi, sehingga lebih banyak menetap, terutama di daerah dekat sumber vegetasi dan air yang menyediakan sumber makanan. Hal ini dibutikan dengan adanya penemuan-penemuan peralatan zaman mesolitikum di pada abris sour roche dan kjokkenmoddinger, Teknologi dan kebiasaan hidup manusia mulai mencerminkan hubungannya dengan lingkungan tertentu.Teknologi yang semakin canggih juga mempengaruhi bentuk fisik manusia yang menjadi kurang kuat. Di Indonesia sendiri dikenal duaras yang terdapat pada
zaman mesolitikum, yakni ras Australomelanesid dan ras Mongoloid.
B.  Saran
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempruna. Oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR RUJUKAN

Anwarsari.1995. Sejarah Nasional IndonesiaI. Malang:IKIP Malang
Bates, D. G., dkk. 1990. Third Edition Cultural Anthropology.
Fagan, B. M., 1994. In The Beginning: An Introduction To Archaeology, Eight Edition. New York: Harper Collins College Publishers.

Haviland, W.A. 1985. Antropologi (jilid I).Terjemahan R. G. Soekardijo. 1988. Jakarta: Erlangga.

Keesing, R. M. 1989. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemprer. Jakarta: Erlangga.

Meighan, C. W. 1966. Archaeology: an Inroduction. San Fransisco: Chandler Publishing Company.

Soekmono. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Penerbitan Yayasan Kanesius.

Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia I (R. P. Soejono, Ed. dkk.). Jakarta: Balai Pustaka.


1 komentar:

  1. bagus mas artikelnya
    kebetulan saya butuh artikelnya
    blogwalking ya mas http://rizqanfahlevi.blogfspot.com

    BalasHapus